Segelas Air Mineral dan Ucapan Terima Kasih

Saya mendapat undangan menjadi pemateri dari komunitas literasi yang ada di Kota Medan. Materi yang saya akan sampaikan tak jauh dari bidang kepenulisan. Ya, saya diminta mengisi materi perihal cara menulis fiksi.
Seorang panitia menghubungi saya perihal kesediaan waktu dan tenaga untuk kegiatan tersebut. Acara itu memang sudah diatur jauh hari sehingga saya dapat menyesuaikan jadwal dengan kegiatan lainnya. Usai melihat tanggal di kalender, saya langsung mengiyakan untuk bersedia menjadi pemateri dalam kegiatan tersebut.
Menjadi pemateri memang kesukaan saya. Dengan menjadi pemateri saya dapat berbagi banyak hal. Utamanya pengalaman dan keterampilan yang saya punya. Kala memberi materi biasanya saya tengah belajar mengulang kembali materi yang telah saya pahami dan praktikkan. Meski sebenarnya menyampaikan pengetahuan yang telah dipraktikkan berbeda jauh dengan mengeksekusi langsung materi tersebut.
Untuk itu, saya tidak berminat main-main tatkala menyampaikan ilmu tentang keterampilan menulis. Alasannya sederhana, saya tidak ingin keterampilan ini dianggap sebagai keterampilan yang murahan, tidak berkelas dan dipandang sebelah mata. Jauh sebelum ini banyak sekali saya temui kelas menulis yang justru demikian. Entah karena panitianya yang tak profesional atau mungkin pematerinya yang tak kapabel menyajikan materi. Bisa jadi malah keduanya.
Jika demikian adanya maka wajar kalau kemudian keterampilan menulis dianggap murahan dan dipandang sebelah mata. Mereka yang benar-benar terpikat menjadi penulis jadi mengurungkan niat karena berhasil merangkum asumsi tentang keterampilan menulis yang ketengan itu.
Kembali pada acara di atas. Saya seyogyanya menyiapkan banyak hal. Dua hari sebelum acara, biasanya, saya akan memeriksa kembali materi dan salindia yang hendak saya sajikan. Saya amat gelisah bila harapan di benak saya tak sesuai dengan salindia yang ada. Itu sebabnya wajar kalau kemudian saya akan mengubah berulang kali tampilan salindia. Saya ingin memberikan kesan kepada peserta bahwa keterampilan menulis itu istimewa. Sekali lagi, tentu saja lewat cara saya menyampikan materi secara bernas.
Semakin mendekati hari pelaksanaan, biasanya tingkat cemas saya semakin tinggi. Saya akan membuat daftar ini-itu guna penampilan saya sempurna di atas panggung. Tak jarang saya membeli beberapa aksesoris tambahan untuk menggapai kesempurnaan itu. Mulai dari mengganti baru batu baterai pointer, membuat fail ganda materi yang saya simpan lewat Google Drive, mengecek kabel HDMI, memastikan aneka peralatan musik agar dapat on saya dinyalakan.
Bahkan dalam beberapa keadaan, saya sering pula membeli baju, parfum hingga jam tangan baru agar penampilan saya makin tampak memukai. Namun, tunggu dulu, hal demikian biasanya tak erat kaitannya dengan biaya atau tarif. Untuk kelas menulis yang saya isi—meski bertarif fantastis atau tidak—persiapan matang kerap saya lakukan.
Namun, apa mau dikata, kelas yang saya masuki kali ini tampak beda. Bukan karena pesertanya yang sedikit tapi lebih pada pelayanan panitia yang tak optimal. Terkesan saya tak mendapat ruang penghargaan. Ya, untuk semua persiapan yang saya lakukan saya memang berharap penghargaan. Penghargaan yang dimaksud bukanlah uang. Karena komunitas literasi yang mengundang saya saat ini memang komunitas yang lama sudah saya kenal. Saya pun turut bergabung sebagai anggota di dalamnya. Jadi, kurang elok memang kalau saya memasang tarif khusus.
Kesan tidak adanya penghargaan itu dimulai saat saya hadir dalam ruang panitia. Tidak ada sambutan apapun dari mereka. Saya berjalan satu per satu seraya menyalami mereka. Sedikit basi-basi tapi tak ada tawaran air mineral atau sekadar kue-kue kering yang terhidang untuk saya. Beberapa di antara para panitia masih sibuk berdiskusi mengenai gegap gempita politik terkini. Saya hanya berkipas-kipas saja sambil mengambil sendiri air mineral tanpa izin.
Asumsi di benak saya tentang “tanpa penghargaan” itu saya tepis jauh-jauh. Saya coba mengambil hawa positif—yang kala itu terasa sulit saya temukan—di semak belukar pikiran saya. Sempat berhasil tapi kemudian menghilang lagi. Tak lama berselang, saya pun di ajak ke aula utama, tempat kelas menulis itu digelar.
Di ruang aula tersebut, firasat saya tentang “tanpa penghargaan” kembali menjadi-jadi. Infocus tidak menyala entah karena apa. Padahal kali pertama dicoba, infocus berhasil menyala. Kemudian tak terhubung sama sekali. No signal. Saya sempat gugup tak karuan. Pasalnya, 90% materi yang hendak saya sampaikan bergantung pada tampilan salindia yang akan terpampang lewat infocus.
Keringat mengucur deras membasahi baju saya. Saya dilanda kepanikan yang hebat. Seraya menerka-nerka rencana B—apa yang selanjutnya akan saya lakukan kalau infocus benar-benar tak menyala—saya lirik pembawa acara yang sudah mulai kehabisan ide untuk membuat peserta santai dan tak gelisah. Namun, tetap saja beberapa peserta tampak gusar. Akhirnya, saya putuskan menyampaikan materi tanpa salindia sama sekali.
Bermodal keberanian dan kenekatan, saya tampil apa adanya. Keringat masih mengucur deras membasahi baju saya. Syukurnya, 15 menit pertama, saya tampil dengan cukup baik. Tidak gugup sama sekali. Namun, masalah selanjutnya tiba; saya haus bukan main. Kerongkongan saya kering. Mungkin karena terlalu banyak keringat yang keluar. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda dari panitia hendak memberikan segelas air mineral ke meja saya. Satu jam penuh saya berhasil tampil. Tentu dengan keterbatasan yang ada. Segelas air mineral juga tak kunjung tiba.
Usai memberikan materi, saya langsung merapikan barang-barang; menutup laptop, menggulung kabel adapter, mematikan tombol pointer dan memasukkannya satu per satu ke dalam saku tas. Seketika saya langsung pamit kepada peserta sesaat pembawa acara menutup kelas dengan ucapan salam. Saya lirik beberapa panitia di bagian belakang tampak sibuk membereskan beberapa barang. Saya langsung melongos ke luar aula dan pergi menuju rumah.
Menariknya, hingga tulisan ini saya selesaikan, tak seorang panitia pun mengucapkan terima kasih atas sumbangsih saya terhadap materi di kelas menulis tersebut. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala tak habis pikir. Dengan kondisi yang ala kadarnya, berani nian panitia menggelar acara kelas menulis yang diperuntukkan bagi khalayak umum. Bukankah itu mencoreng nama baik komunitas? Bukankah itu pula cara paling manjur untuk merendahkan keterampilan menulis di mata masyarakat awam? Sekali lagi, saya hanya bisa geleng-geleng kepala seraya mengelus dada.
Dalam perjalanan pulang, pikiran saya masih diliputi rasa kalut tak henti-henti. Beragam pertanyaan terus bergelayutan; mengapa panitia sebegitu parah menyiapkan acara sehingga segelas air mineral pun abai diberikan? Mengapa untuk infocus saja, dimana itu salah satu peralatan yang wajib stand by, tidak tersedia dengan baik? Mengapa mengucapkan kata terima kasih sebagai bentuk penghargaan pun sulit atau memang lupa disampaikan? Benar, pertanyaan-pertanyaan itu sempurna di benak saya.
Namun, sudahlah! Saya segera menyudahi pertanyaan-pertanyaan itu dengan satu pertanyaan paling penting bagi diri saya yakni untuk alasan apa saya bersedia menjadi pembicara di kelas menulis yang ujungnya tanpa penghargaan sama sekali ini? Hati saya berdesir pelan, lalu mencoba menjawab dengan terbata-bata. Alasan saya melakukan ini sesungguhnya untuk diri saya sendiri. Bukan untuk peserta, bukan pula untuk panitia. Bahkan bukan pun untuk penghargaan ini-itu.
Saya tersadar bahwa ketika saya berharap kepada orang lain agar orang tersebut memberikan penghargaan untuk saya maka hasil paling pahit adalah kekecewaan. Sebab orang lain punya keterbatasan untuk tidak memberikan penghargaan itu kepada saya. Dalam kesempatan lain, penghargaan yang saya harapkan sangatlah abstrak dan terus membesar. Orang lain tak paham sebesar apa penghargaan yang saya harapkan. Orang lain pun tak tahu kalau satu penghargaan yang saya harapkan akan membesar dan bertambah menjadi penghargaan-penghargaan selanjutnya.
Pada titik ini, saya segera menarik diri ke dalam sanubari terdalam. Saya bersedia menjadi pembicara dengan segala persiapan matang yang saya lakukan, bukan untuk siapa-siapa, bukan pun untuk apa-apa. Namun, untuk saya semata.
Saya menyiapkan banyak hal sebelum tampil sejatinya melatih diri saya untuk berbuat secara maksimal. Saya menyampaikan materi dalam kondisi penuh keterbatasan juga bukan untuk siapa-siapa. Melainkan melatih diri saya untuk siap sedia dengan kemungkinan kondisi yang kerap terjadi.
Kondisi yang saya alami ini memberikan banyak pelajaran kepada diri saya bahwa manusia sangat punya keterbatasan dan kekhilafan. Untuk mengucapkan terima kasih saja, manusia kadang lupa. Apalagi untuk segelas air mineral yang kesannya remeh. Apalagi untuk memastikan infocus dalam kondisi berfungsi baik. Sungguh, manusia tak punya kuasa sama sekali.
Akhirnya saya sadar bahwa materi kepenulisan yang saya berikan di kelas menulis waktu itu bukan untuk peserta. Bukan juga untuk panitia. Melainkan untuk saya. Saya tidak sedang mengajak peserta atau orang lain agar mau menulis. Sejatinya saya mengajak diri saya untuk terus menulis. Saya tidak sedang memotivasi peserta untuk mau dan mampu menulis fiksi lewat ide dan trik yang saya bagikan. Melainkan itu semua untuk saya. Agar di lain waktu saya jadi semakin fasih menerapkan trik menulis tersebut di dalam karya-karya saya selanjutnya.
Ya, harusnya saya berterima kasih untuk diri saya sendiri. Bukan berharap terima kasih dari orang lain. Harusnya lain waktu pun saya bawa botol minum berisi air mineral sendiri ketika hendak mengisi kelas menulis. Harusnya saya tidak lagi butuh penghargaan dari orang lain karena saya tahu dan mahir bagaimana menghargai diri saya.
Harusnya saya memang demikian!