Ketika Anakku Jatuh Cinta

Tidak sedikit orang tua yang mulai resah ketika si kecil yang beranjak puber mulai merasakan indahnya jatuh cinta. Tingkah mereka aneh bin lucu. Ada yang mulai pandai berdandan, berpakaian macam-macam hingga pada aktivitas yang terkesan mengkhawatirkan; pacaran, pergi berduaan atau chit-chat yang menjurus pada aktivitas sensual.
Lantas, apa yang harus orang tua lakukan ketika anak mulai menyukai lawan jenis? Apa hal-hal pokok yang penting diajarkan kepada anak agar konsentrasi mereka tak menjurus pada aktivitas percintaan yang menghanyutkan sehingga lupa belajar, bermain dan beribadah?

Tulisan singkat ini—sebagai rangkuman atas murajaah bareng Abah Ihsan bertajuk “From A to Z: Cara Nyaman Ngobrolin Seks dengan Anak” yang digagas Mommies Project—kiranya dapat memberi jawaban atas beberapa pertanyaan di atas terkait apa yang mesti orang tua lakukan ketika si anak remaja mulai jatuh pada lembah asmara.
Mari kita simak!
Sebagai Awalan
Bicara tentang seks kepada anak remaja perlu dilakukan secara terbuka. Beberapa orang tua menganggap bicara seks merupakan hal yang tabu. Abah Ihsan sendiri menilai bahwa pembicaraan seks memang mesti tabu. Namun, bukan berarti anak tidak boleh tahu.
Abah juga menambahkan bahwa hal tabu itu bermakna tidak boleh dibicarakan oleh sembarang orang, oleh sumber yang tidak jelas.
Ini senada dengan arti kata tabu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI). Di KBBI Edisi V dijelaskan bahwa tabu adalah hal yang tidak boleh disentuh, diucapkan, dan sebagainya kerena berkaitan dengan kekuatan supernatural yang berbahaya (ada resiko kutukan).
Tidak boleh diucapkan jika memang kita tak memahami perihal seks secara komprehensif. Alhasil, bukan pendidikan seks yang benar melainkan penyimpangan perilaku seks yang akan terjadi.
Maka sebagai awalan, Abah Ihsan menganjurkan kalimat berikut agar anak remaja merasa siap ketika hendak memahami apa itu seks yang sebenarnya.
“Nak, ayah dan bunda merasa berkewajiban menyampaikan informasi seks yang benar kepada kamu saat ini. Tujuannya agar kamu kenal dengan dirimu, bisa menjaga diri dan bersiap diri. Apalagi saat ini kamu sudah balig maka pengetahuan tentang seks perlu kamu ketahui,” terang Abah.
Kalimat ini penting disampaikan di awal diskusi perihal seks kepada anak. Hal ini dilakukan agar anak merasa siap menerima informasi tersebut.
Selain itu, anak juga menjadi paham bahwa informasi tervalid mengenai seks, mereka dapatkan langsung dari ayah dan bundanya.
Dengan mengawali kalimat ini, pikiran bawah sadar anak akan menganggap bahwa orang tua adalah tempat yang aman dan nyaman untuk berbicara perihal seks.
Ketika suatu hari anak mengalami sesuatu yang berkaitan dengan seks, anak tak lagi sungkan untuk bertanya atau memulai perbincangan.

Penting Ngobrolin Seks, Karena…
Orang tua juga penting menjelaskan secara gamblang mengapa pendidikan seks ini harus diajarkan sedini mungkin. Salah satu alasan krusialnya adalah agar anak punya keinginan untuk menikah dan punya keturunan.
“Nak, kenapa ayah dan bunda penting menyampaikan informasi seks ini kepada kamu? Agar kamu punya hasrat dan keinginan untuk menikah dan punya keturunan,” jelas Abah.
Alasan kuat ini sangat penting disampaikan guna meyakinkan anak pada dua hal yaitu (1) agar anak menerima kondisinya bahwa menyukai lawan jenis adalah fitrah—sesuatu yang manusiawi, lumrah dan normal; dan (2) agar anak terhindar dari perilaku seks menyimpang, seperti tertarik dengan sesama jenis (LGBT) dan childfree.
Berbincang kepada anak perihal seks tak sekadar menjelaskan aktivitas mimpi basah dan menstruasi belaka. Melainkan ada tujuan lebih besar di balik itu yakni agar anak menerima fitrahnya—suka dengan lawan jenis—dan terhindar dari perilaku menyimpang seperti perilaku LGBT.
Balig dan Ciri Primernya
Usai mengawali kalimat pembuka tersebut kepada anak saat diskusi perihal seks, orang tua dapat menjelaskan lebih lanjut tentang apa itu balig dan ciri-cirinya.
“Balig itu berasal dari bahasa Arab yang artinya sampai. Kini kakak dan abang sudah sampai. Sampai dalam hal apa? Kakak dan abang sudah sampai usianya pada tahap kedewasaan. Orang yang sudah balig atau sampai akan mengalami perasaan, pikiran dan perilaku yang berubah,” ucap Abah.
Kondisi perasaan, pikiran dan perilaku yang berubah ini pasti dialami oleh mereka yang sudah balig. Maka dari itu, orang tua perlu menjelaskan secara terperinci. Perasaan, pikiran dan perilaku apa yang berubah.
Namun, jauh sebelum menjelaskan tentang perasaan, pikiran dan perilaku yang berubah, orang tua dapat menjelaskan dari awal tentang apa saja ciri-ciri balig yang wajib anak ketahui.

“Ciri-ciri orang yang balig itu ada dua. Pertama, ciri primer. Kedua, ciri sekunder. Ciri primer ini pasti dialami semua orang. Beberapa orang, secara waktu, mengalami ciri sekunder yang berbeda-beda. Tapi hampir bisa dipastikan, seseorang dikatakan balig ketika sudah memiliki ciri primer ini. Bagi anak laki-laki, ciri primernya adalah suara yang berubah dan tumbuhnya rambut-rambut di sekitar tulang pubis sehingga itu yang dikenal dengan istilah pubertas,” terang Abah.
Disebut ciri primer karena pada umumnya ciri-ciri ini dapat diamati secara langsung. Perubahan suara yang lebih berat pada anak laki-laki dapat langsung diamati. Begitu juga dengan tumbuhnya rambut-rambut di sekitar kemaluan, hal ini pun dapat dilihat secara langsung. Dengan begitu, anak yang sudah balig tak lagi dapat menyangkal bahwa mereka memang telah sampai secara usia.
Abah Ihsan sendiri bahkan melakukan pengamatan langsung terhadap ciri primer ini kepada anak laki-lakinya.
“Abang sudah balig, ya. Suara abang sudah berubah. Apakah sudah tumbuh rambut di sekitar kemaluan, Abang?” tanya Abah suatu ketika kepada anak laki-lakinya.
“Belum ada, Bah!” jawab anak laki-laki Abah.
“Kalau begitu, sini Abah periksa!” desak Abah kepada anak laki-lakinya.
“Iya, Bah. Sudah ada, Bah!” jawab spontan anak laki-laki Abah.
Mendengar cerita Abah ini, seisi peserta murajaah spontan tertawa terbahak-bahak. Ini membuktikan bahwa ciri primer memang betul-betul dapat diamati secara langsung. Oleh sebab itu, bagi para ayah agar memeriksa secara pasti bahwa anak laki-laki memang benar-benar sudah memiliki ciri primer ini.
Sementara mimpi basah, sebagai ciri sekunder pada anak laki-laki yang sudah balig, agak sulit diamati. Anak dapat menyembunyikan kondisi mimpi basah ini dari orang tuanya. Ketika ia mimpi basah, anak dapat segera mandi dan bukti nyata mimpi basah tersebut dapat dihilangkan.
“Anak perempuan, ciri primernya adalah menstruasi. Ciri ini pun dapat langsung diamati. Bunda dapat memeriksa dan melihat bahwa anak perempuan sudah mengeluarkan darah haid. Dalam kondisi seperti ini, bunda dapat menjelaskan kenapa perubahan ini terjadi di tubuh si anak. Apa itu menstruasi? Seperti apa proses terjadinya? Setiap kapan saja akan terjadi? Apa yang harus dilakukan ketika haid itu muncul? Dan apa perasaan, pikiran dan perilaku yang berubah saat masa haid tiba? Dll.” Ucap Abah.
Kapan Waktu yang Tepat?
Beberapa orang tua barangkali khawatir ketika berdiskusi perihal seks. Salah satu kekhawatiran terbesar para orang tua adalah ketika anak bertanya apa itu hubungan seks dan bagaimana prosesnya?
Lebih dari itu, orang tua juga khawatir ketika proses hubungan seks itu dijelaskan maka anak akan tertarik dan penasaran untuk mencobanya.
“Jangan ngomongin haid ketika anak sudah haid. Jangan ngomongin jatuh cinta setelah anak pacaran. Jadi, gak ujug-ujug ngomong pacaran itu haram! Dari usia tertentu harus sudah ngomongin perihal seks ini. Sampaikan begini, Nak, suatu hari nanti, tubuh kamu akan berubah. Perubahan yang terjadi pada tubuhmu, juga akan diiringi perubahan pada pikiranmu,” kata Abah.
Pada umumnya, anak laki-laki mengalami balig pada usia 12-16 tahun. Sementara anak perempuan sedikit lebih cepat, yakni usia 8-13 tahun. Nah, usia terbaik ngomongin seks adalah prabalig (sebelum usia balig).

Usia prabalig dianggap usia paling tepat untuk membincangkan perihal seks karena di usia tersebut anak tak tertarik untuk mencobanya. Sebagian besar anak belum terkontaminasi dengan informasi perihal seks dari orang atau media lain sehingga membuat mereka tidak berpikiran “ngeres” (baca: kotor). Usia prabalig juga dianggap usia yang paling tepat dalam membincangkan perihal seks adalah agar anak bersiap diri.
Lain kasusnya ketika hal ini disampaikan saat anak sudah balig. Secara hormonal, anak-anak usia balig hormon reproduksinya cenderung aktif. Maka wajar bila anak memiliki ketertarikan untuk menjajal hubungan seksual usai orang tua menjelaskannya.
Bunda, Ada yang Naksir Aku
Adalah saya—sebagai alumni PSPA tahun 2018—menjadi sangat tertarik mengikut murajaah bersama Abah Ihsan kali ini karena tema yang diangkat sangat relevan dengan kondisi yang terjadi di rumah tangga saya. Utamanya saya, bingung ketika menjawab pertanyaan ketika ada yang tertarik dengan anak perempuan saya.
Namun, Abah sangat gamblang menjelaskan bahwa ngobrolin seks, salah satunya adalah membincangkan perihal rasa suka yang dihadapi anak. Orang tua mesti punya kemampuan menjelaskan perasaan yang terjadi pada anak ketika ia sudah mulai tertarik dengan lawan jenis atau malah ada yang menyukai dirinya.
“Perasaan yang berubah ketika kamu balig adalah rasa suka dengan lawan jenis, Nak. Itu perasaan yang normal. Ketika ada yang suka dengan kamu, itu juga hal yang normal,” sambung Abah.
Hanya saja, kebingungan kita sebagai orang tua tidak selesai pada titik itu. Apakah perasaan suka dan disukai yang dialami anak ini perlu dilanjutkan?
“Kasih tahu anak perempuan kita bahwa ketika ada lawan jenis yang tertarik dengan dia, sejatinya anak lelaki itu punya satu motif yang sama yakni motif reproduksi. Dengan kata lain, motif reproduksi adalah motif ingin melakukan hubungan seksual. Awalnya suka, lama-lama ingin berjalan berduan, lanjut ingin pegang tangan, setelahnya ciuman, dll.” Kata Abah lagi.
Pernyataan Abah ini diamini oleh semua peserta murajaah—termasuk saya. Tidak berhenti sampai di situ, Abah juga mengajarkan tentang bagaimana cara menyampaikan kepada anak perempuan tentang apa yang perlu dilakukan ketika ada yang mengajaknya pacaran.
“Kalau ada yang suka dengan kakak, idealnya dia harus sudah siap menikahi kakak. Masalahnya adalah kakak dan anak laki-laki yang menyukai kakak itu memang belum dibolehkan untuk menikah karena usia yang masih sangat muda. Maka sampaikan kepada si anak laki-laki yang menyukai kakak itu bahwa ketika kamu menyukai saya berarti kamu sudah siap menikahi saya. Namun, saat ini kamu belum siap. Saya juga belum siap. Karena usia kita masih sangat muda,” terang Abah dengan wajah serius.
Bukan Abah Ihsan kalau tidak punya segudang trik. Kali ini Abah mengajukan satu pertanyaan yang menambah wawasan saya—barangkali juga seluruh peserta murajaah.
“Pak/Bu, apa yang terjadi kalau anak perempuan kita bertanya balik. ‘Jadi, Bun. Apa yang harus kakak jawab kalau si anak laki-laki itu bertanya, apa kamu tidak suka dengan aku? Padahal aku juga suka dengan dia, Bun,’” seru Abah Ihsan spontan.
Saya dan peserta murajaah lainnya saling tatap, bingung hendak menjawab apa.
“Ajarkan pada anak perempuan kita, juga kepada anak laki-laki kita, jika ada yang nembak begitu bahwa tolak semua ajakan untuk berpacaran atau saling menyukai. Meskipun anak kita menyukai lawan jenis tersebut,” tambah Abah kemudian.
Mengajarkan penolakan ini memang sangat logis. Sebab, ketika anak kita menerima ajakan untuk berpacaran atau sama-sama mengungkapkan perasaan cinta maka pintu gerbang pacaran telah terbuka. Mereka akan masuk pada fase berikutnya yakni menyisihkan waktu, tenaga dan pikiran untuk pacarnya.

Selain dilarang oleh agama, pacaran juga memberikan banyak mudarat bagi anak kita. Waktu belajar jadi tersita, kondisi emosi jadi tak stabil, aktivitas ibadah jadi berantakan bahkan yang paling menakutkan adalah peluang anak kita melakukan maksiat jauh lebih terbuka. Ingat, motif utama pacaran adalah reproduksi atau seksualitas!
“Jujur dong, kamu suka juga dengan aku, kan?”
Abah Ihsan mengajukan trik yang menarik lagi unik untuk menampiknya jika muncul pertanyaan tersebut.
“Tidak semua perasaan harus diungkapkan. Balas demikian,” kata Abah memberikan saran, “Kalau ibu sedang jalan dengan suami di mall lalu melihat ada cowok yang gantengnya dua kali lipat dari suami, apakah perasaaan itu perlu diungkapkan? Tentu tidak. Sebab, ada kalanya perasaan yang kita rasakan akan mendatangkan keburukan bila diungkapkan. Bayangkan, ada tamu datang berkunjung ke rumah, lalu anak kita yang berusia 2 tahun ngomong terang-terangan tentang tamu itu, ‘Kok gigi tante boneng sih?’” jelas Abah.
Artinya, tetap ajarkan anak kita untuk tidak perlu mengungkapkan perasaan yang dia alami. Alihkan perasaan anak kita pada tujuan hidup yang ingin dicapainya—cita-cita, mimpi, harapan dan prestasi. Jelaskan pula bahwa akan tiba waktu di mana ia boleh mengungkapkan perasaan suka kepada lawan jenis. Mungkin 10 atau 15 tahun yang akan datang.
Semoga bermanfaat.